Kala Marvel Mengikis Nasionalisme Penonton Film di Korea
Busan, CNN Indonesia -- Dikenal sebagai pasar film dengan nasionalisme tinggi, memasuki usia seabad perfilman Korea Selatan, penonton film negara itu diyakini semakin goyah oleh gempuran Hollywood.Korea Selatan selama ini dianggap Hollywood sebagai salah satu pasar internasional yang besar yang dicirikan dengan minat budaya menonton di bioskop yang tinggi.
Akan tetapi, produsen film asing kesulitan menggoyang minat penonton film Korea karena 'nasionalisme' mereka. Penonton Korea lebih gemar menonton film bangsanya sendiri.
Bukan hanya Korea sebenarnya, ada sejumlah negara lain di Asia yang memiliki karakteristik yang mirip: pasar besar dengan nasionalisme tinggi, yaitu Jepang, China, dan India.
Namun, seabad perfilman Korea Selatan berjalan, sutradara senior Korea Selatan Lee Chang-dong menyatakan dirinya melihat sendiri ada fenomena pergeseran minat penonton film di Korea.April, kata Lee Chang-dong, biasanya menjadi bulan yang tak begitu baik bagi perfilman Korea Selatan. Kala itu, ia tak melihat banyak orang pergi ke bioskop.
Ilustrasi: 'Avengers: Endgame' menjadi salah satu sebab penonton Korea membanjiri bioskop di bulan yang sepi. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Hingga kemudian ia tersadar bahwa Avengers: Endgame akan tayang di Korea Selatan satu pekan setelah kunjungannya ke salah satu bioskop itu.
"Itu seperti mereka menantikan topan tersebut datang. Sepinya bioskop seperti suasana tenang yang terjadi sebelum topan menerpa," kata Lee Chang-dong saat ditemui di Busan International Film Festival 2019.
Berdasarkan data Dewan Perfilman Korea pada April 2019, box office Korea Selatan dikuasai film-film Hollywood.
Avengers: Endgame menempati posisi pertama dengan penjualan lebih dari 7,3 juta tiket. Sementara itu di posisi kedua ditempati film lokal, 'Birthday' dengan penjualan sekitar 1,1 juta tiket.
Sementara itu, film lokal lainnya yakni Money berada di peringkat tiga. Posisi empat dan lima ditempati oleh Shazam! dan Us.
Film Hollywood lainnya seperti Hellboy dan Captain Marvel juga masuk 10 besar box office Korea Selatan pada April 2019.Lee Chang-dong berpendapat fenomena tersebut terjadi karena ada keinginan yang tak disadari masyarakat akan hadirnya seorang atau superhero untuk mengatasi permasalahan hidup yang makin pelik.
Kata Lee Chang-dong, dalam hal ini, film serupa dengan mimpi yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar serta keinginan masing-masing pribadi.
"Film-film Marvel menunjukkan hal-hal yang penonton ingin lihat. Saya tidak tahu kini kenapa penonton ingin ke bioskop atau apa yang diinginkan ketika ke bioskop," kata sutradara yang pernah menjabat Menteri Kebudayaan serta Pariwisata Korea Selatan pada 2003-2004 itu.
Lee Chang-dong menilai masyarakat Korea dulu ingin ke bioskop untuk melihat kehidupan dari tokoh protagonis. (Rich Fury/Getty Images/AFP)
|
Lee Chang-dong menilai masyarakat Korea dulu ingin ke bioskop untuk melihat kehidupan dari tokoh protagonis.
Korea selama ini kerap memasukkan unsur sehari-hari dan fenomena yang sebenarnya terjadi di kehidupan nyata dalam film. Sehingga penonton disebut turut merasakan langsung kesusahan atau permasalahan dari tokoh utama.
"Tapi kini kondisi dunia semakin rumit. Permasalahan semakin banyak. Jadi masyarakat mungkin membutuhkan pahlawan yang bisa menyelesaikan semuanya," katanya.
"Itu ditunjukkan dalam film dengan narasi pahlawan mengatasi semua masalah. Jadi kembali pada narasi seperti apa yang diinginkan penonton," lanjutnya.
Beda Korea dengan Hollywood
Dugaan perubahan minat ini juga diamini oleh akademisi sekaligus peneliti Media dan Cultural Studies dari Chung-Ang Univeristy, Lee Jee-heng.
Menurutnya, selama ini film Hollywood dan Korea menyajikan permasalahan dasar yang berbeda. Ia pun menjabarkannya lebih lanjut.
Film Hollywood biasanya memiliki tiga jenis permasalahan atau bencana yang ditampilkan, salah satunya adalah dunia akan segera hancur dan tak bisa diselamatkan, seperti 'Knowing', 'Melancholia', 'World War Z'.
Sineas Korea juga kerap mengangkat tema sejarah dalam film mereka seperti 'Roaring Currents'. (Dok. CJ Entertainment via Youtube)
|
Akhir-akhir ini, menurut Lee Jee-heng, Hollywood juga kerap mengembangkan film dengan narasi satu orang yang bertahan dalam permasalahan di dunia, seperti '127 hours', 'Burried', 'Life of Pi', serta 'Gravity'.
Permasalahan lainnya adalah trauma atau gangguan yang dialami masyarakat dalam menghadapi masalah kehidupan seperti isu keluarga, politik, sosial, bahkan bencana.
Penekanan terhadap psikologis masyarakat tersebut ditunjukkan melalui sejumlah film seperti 'Revolutionary Road', 'American Psycho' dan 'Gone Girl'.
Sementara itu, Korea selama ini lebih menekankan kritik pada ideologi serta sistem pemerintahan. Melalui film, mereka menunjukkan keraguan terhadap kekuasaan, seperti dalam 'The Unjust', 'Inside Men', 'Veteran' dan 'The King'.
Selain itu, sineas Korea juga kerap mengangkat tema sejarah dalam film mereka seperti 'Masqurade', 'Roaring Currents' dan 'Ode to My Father'.
Film seperti ini memang masih diminati masyarakat Korea. 'Roaring Currents' masih menjadi film terlaris di Korea Selatan dengan penjualan lebih dari 17 juta tiket.
"Narasi nasionalis ini muncul karena keinginan bernostalgia serta berefek menyebarkan rasa optimistis di masyarakat," tutur Lee Jee-heng.
Dewan Perfilman Korea mencatat Extreme Job menjadi film terpopuler tahun ini dengan penjualan lebih dari 16,2 juta tiket. (dok. CJ Entertainment)
|
Tak seperti Hollywood yang kerap menggunakan narasi dunia akan berakhir, Korea lebih menggambarkan kekerasan serta kebencian kepada minoritas, seperti dalam film 'The Wailing' dan 'End of Animal'.
"Karakter dipakai untuk membawa para penonton mengerti situasi yang ada. Film Korea mengkritik sistem politik. Itu menurut saya merupakan strategi bertahan hidup. Menggunakan subjek tersebut menunjukkan kepedulian sekaligus kekhawatiran isu politik dan sosial yang terjadi di Korea," kata Lee Jee-heng.
Meski Hollywood mulai menarik perhatian penonton Korea, minat terhadap film lokal masih tinggi di usia industri tersebut yang sudah masuk seabad.
Dewan Perfilman Korea mencatat Extreme Job menjadi film terpopuler tahun ini dengan penjualan lebih dari 16,2 juta tiket. Sementara itu peringkat kedua dan ketiga ditempati Avengers: Endgame (13,9 juta tiket) dan Aladdin (12,5 juta tiket).Dua film lokal, yakni Parasite (10 juta tiket) dan EXIT (9 juta tiket) menempati posisi empat dan lima untuk seluruh film yang tayang di Korea sepanjang 2019. Dari 50 besar box office Korea Selatan, 21 posisi ditempati film Hollywood dan lainnya dikuasai film lokal. (end)
Halaman Selanjutnya >>>>
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kala Marvel Mengikis Nasionalisme Penonton Film di Korea"
Post a Comment